Terkini.id, Pangkep - Perhelatan Makassar Biennale tahun ini berlabuh di Pangkep. Selama sepekan yang dimulai pada Minggu, 25 September 2021, kegiatan ini dipusatkan di kawasan Karst Belae, Biraeng, Minasatene.
Sejumlah program tersaji seperti simposium yang dihadiri pendiri Pustaka Bergerak Indonesia Nirwan Ahmad Arsuka, Budayawan Halim HD dan Halilintar Latief, juga hadir penulis Nurhadi Sirimorok, Akademisi UNM Yasin MDs serta Akademisi dari Universitas Telkom Bandung Maharani Budi.
Selain kehadiran para pembicara tersebut, dua penampil dari Pangkep juga menyajikan bahan dialog. Yang pertama pada 25 September 2021 digelar pemutaran dokumenter Menjawab Teka Teki Lukisan Purba di Belae. Dokumenter berdurasi lima menit ini meneropong kiprah Ady Supriadi, penggiat karts di Belae.

Ia mengetengahkan hipotesa yang dikembangkan atas pembacaannya mengamati sebaran lukisan cadas di sejumlah gua. “Ada yang menarik dari cerita yang saya dapat orang tua bahwa kita ini berada di kawasan karst yang memiliki nilai sejarah,” ujarnya, Ady dalam dokumenter, Rabu, 29 September 2021.
Berbekal cerita yang didengar dari masa kecil itulah yang menjadi penuntunnya hingga mengembangkan hipotesa. Sedari kecil ia sering mengikuti kakeknya Daeng Ambo yang bertugas menjaga sejumlah gua di Belae. Setelah Daeng Ambo sepuh, tugas itu kemudian dilanjutkan Haeruddin, ayah Ady. “Ini dulu tempat mainan saya waktu kecil,” paparnya sewaktu di Leang Kassi pada Rabu, 22 September ketika mendampingi Kifu, Dian, dan Ule tiga seniman yang menjalanani residensi di Pangkep.
Hipotesa yang dikembangkan Ady bermula dari Leang Bulo Ribba, di leang ini terdapat lukisan tunggal berupa ikan yang ekornya berasal dari sejumlah titik gua seperti Leang Tuka Satu hingga Lima, Bubbuka, Caddia, Lambuto, Lompoa, Kassi, Ulu Tedong, Sapiria, Lamara, Sassang, Ujung, Camming Kana. Leang ini semua tersebar di gunung Matojeng dan Lamperangan. Secara geografis kawasan karst dua gunung tersebut mencakup Desa Kabba dan Kelurahan Biraeng.
Dari lukisan cadas di sejumlah leang Ady menarik kesimpulan jika sebaran gambar yang terpisah-pisah itu merupakan petunjuk yang mengarahkan ke Leang Sakapao. Dari keseluruhan leang yang ada di Belae, Sakapao merupakan leang yang posisinya paling tinggi di tebing karst. Berdasarkan letak itu dan dan banyaknya jumlah gambar dibading di leang yang lain, sehingga Ady menyimpulkan jika Sakapao adalah pusat atau bisa disebut alun-alun manusia purba di zaman itu. Pendapatnya ini juga ditopang dari kesimpulan akademisi yang pernah melakukan penelitian dengan asumsi serupa.
“Apa yang coba didedahkan Ady itu menarik, ia berkata bahwa karst di Belae ini masih hidup. Hidup dalam artian tumbuh dan masih terjaganya ekosistem yang saling terkait.” tanggap Halim HD.
Penampil kedua pada 26 September 2021 yakni Munjiyah Dirga Ghazali yang membacakan dongeng hasil penelitiannya selama kurang lebih lima tahun. Ia menggali khasanah folk yang tersebar di sejumlah wilayah di Pangkep dan meramunya kembali menjadi dongeng. Selain penampilan dongeng tersebut, juga ada pembacaannya esai Asdar Muis RMS yang dibacakan oleh Adnan Muis.
Dalam monolog pendek berdurasi 10 menit, Munji, sapaan akrabnya, membacakan Lanong, Legenda dari Pulau Salemo. Sebagai dongeng yang bertumpuh pada alur cerita, Nirwan membagi dua struktur cerita yang disebutnya cerita berpagar yang memiliki motif larangan. Lalu ada cerita serupa jendela yang menawarkan perpespektif terbuka untuk memaknainya lebih jauh.
Menilik Makassar Biennale yang menetapkan Maritim sebagai tema abadi, maka dua penampil dari Pangkep telah merespons isu maritim itu sebagai suatu kesatuan kosmologis yang tak terpisahkan. Ady beranjak dari karst (daratan) dan monolog Munji berpijak dari lautan.
Mengoneksikan muatan dongeng dalam monolog Munji, Nirwan kembali menawarkan tantangan pembacaan mengenai lukisan cadas yang telah dikunjungi di Sakapao. Menurutnya, lukisan yang dibuat itu melampaui kebutuhan fisik sang pembuatnya, tetapi sudah masuk dalam penggambaran batiniah. “Kita perlu membicarakan terus menerus kawasan karst ini sebagai pencapaian kebudayaan yang telah ditanamkan nenek moyang di masa lalu dan itu perlu dijaga,” tukasnya.